Banyuwangi – Wacana penghapusan komite sekolah kembali mencuat di tengah sorotan publik terhadap praktik pungutan liar yang kerap berlindung di balik nama “sumbangan sukarela”. Isu ini memicu perdebatan sengit, mengingat keberadaan komite sekolah diatur tegas dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 sebagai lembaga nonstruktural yang menjembatani kepentingan masyarakat dan sekolah.
Berdasarkan regulasi, komite sekolah memiliki empat peran utama: memberikan pertimbangan kebijakan, mendukung pendanaan secara sukarela, menyalurkan aspirasi masyarakat, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan tidak sedikit komite yang justru menjadi stempel legalitas bagi kebijakan sepihak kepala sekolah, termasuk pungutan yang membebani orang tua siswa, (9/8/2025).
“Jika komite sekolah dihapus, ruang partisipasi masyarakat akan hilang, dan kepala sekolah berpotensi membuat kebijakan tanpa pengawasan publik,” ujar Sugiarto, Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi. Ia menegaskan, masalahnya bukan pada lembaganya, tetapi pada oknum dan praktik yang menyimpang dari aturan.
Penghapusan komite juga dinilai berisiko memperlebar jurang ketidakpercayaan antara masyarakat dan pihak sekolah. Tanpa lembaga penghubung, transparansi pengelolaan dana dan program sekolah dikhawatirkan merosot. Sebaliknya, pihak yang mendukung wacana ini beralasan bahwa reformasi total sulit dilakukan jika komite tetap dipertahankan dalam bentuk yang ada sekarang.
Pemerhati pendidikan menilai solusi yang lebih tepat adalah reformasi menyeluruh: pemilihan anggota komite secara demokratis, pelatihan tentang batas kewenangan, serta transparansi penuh dalam setiap kebijakan yang melibatkan dana. “Hapus penyimpangan, bukan hapus komitenya,” tegas Sugiarto.
Dengan posisi komite sekolah sebagai amanat regulasi, penghapusan tanpa revisi peraturan setingkat menteri akan menimbulkan persoalan hukum baru. Hingga kini, Kementerian Pendidikan belum memberikan sikap resmi terkait wacana ini.
(Red)