BANYUWANGI, JAWA TIMUR — Sebuah dugaan serius mengguncang citra industri air minum dalam kemasan di Banyuwangi. Produk air mineral bermerek ternama yang selama ini mengusung label “Air Pegunungan Asli” diduga melakukan pemalsuan asal sumber air, setelah terungkap bahwa air baku yang digunakan bukan berasal dari mata air pegunungan, melainkan air tanah dari sumur bor yang digali di kawasan Desa Benelan Kidul, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi.
Informasi dari masyarakat sekitar menyebutkan bahwa aktivitas pengeboran dan pengambilan air tanah dilakukan di area dataran rendah — jauh dari wilayah pegunungan sebagaimana klaim yang tercantum dalam label dan promosi produk.
Dugaan ini pun memunculkan pertanyaan publik yang sangat mendasar:
Apakah izin operasional perusahaan sebesar itu telah melalui verifikasi yang benar dan transparan?
Apakah Dinas Lingkungan Hidup (DLH), pemerintah daerah, hingga Kementerian ESDM telah meneliti secara faktual dokumen perizinan seperti UKL-UPL, izin eksplorasi, dan izin pengambilan air tanah?
Jika benar air baku yang digunakan berasal dari sumur bor tetapi tetap diklaim sebagai air pegunungan, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pemalsuan informasi sumber air—sebuah bentuk pelanggaran etik, dan berpotensi melanggar ketentuan hukum tentang perlindungan konsumen, perizinan lingkungan, dan kejujuran label produk.
Potensi Pelanggaran Lingkungan dan Etika Produksi
Selain aspek hukum, tindakan pemanfaatan air tanah dalam skala besar tanpa izin atau dengan informasi yang menyesatkan bisa berdampak serius pada lingkungan.
Kapasitas eksploitasi air tanah di bawah permukaan dapat menurunkan debit air warga, memicu kekeringan, serta menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem air tanah.
Padahal, amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945) menegaskan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Artinya, air tidak boleh dijadikan alat monopoli atau komoditas bisnis yang mengorbankan kepentingan publik. Negara wajib hadir untuk mengawasi setiap bentuk pengelolaan air agar tetap berpihak pada masyarakat.
Pernyataan Resmi Ketua LPLH-TN Banyuwangi Rofiq Azmi & Komunitas Banyuwangi Peduli Air Bersih (KMB-PAB)
Menanggapi persoalan ini, Ketua Lembaga Pengawasan Lingkungan Hidup dan Tata Negara (LPLH-TN) Banyuwangi, bersama Komunitas Masyarakat Banyuwangi Peduli Air Bersih (KMB-PAB), menyampaikan pernyataan resmi:
- Menuntut transparansi penuh dari pihak manajemen perusahaan air mineral bermerek tersebut mengenai asal usul sumber air baku yang digunakan dalam produksi.
- Meminta audit lingkungan menyeluruh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan DLH Banyuwangi, untuk memverifikasi izin UKL-UPL, izin eksplorasi, serta izin pengambilan air tanah.
- Mendesak aparat hukum dan pemerintah daerah untuk menyelidiki dugaan pemalsuan data sumber air serta menindak tegas apabila ditemukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
- Menolak eksploitasi air tanah yang berlebihan, terutama yang menimbulkan dampak kerugian bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
- Menuntut tanggung jawab sosial dan pemulihan lingkungan dari pihak perusahaan, termasuk program CSR yang konkret dan berkelanjutan.
“Kalau benar air tanah dipasarkan dengan klaim air pegunungan, ini bentuk pembohongan publik dan pelanggaran etika produksi. Air adalah hak rakyat, bukan milik korporasi. Kami siap membawa kasus ini ke KLHK, Ombudsman, bahkan KPK bila tidak ada langkah hukum yang nyata,” tegas Ketua LPLH-TN Banyuwangi.
Air Adalah Hak Hidup, Bukan Komoditas Semu
Persoalan ini menjadi cermin betapa pengawasan sumber daya air masih lemah di tingkat daerah. Ketika air—unsur dasar kehidupan—dipalsukan asalnya demi kepentingan industri, maka yang terkuras bukan hanya cadangan air tanah, melainkan kejujuran dan tanggung jawab sosial.
Air adalah kehidupan. Jangan biarkan kehidupan rakyat dikeringkan oleh keserakahan dan pemalsuan.
(Red)















