Banyuwangi – “Dunia itu obah, dunia itu berubah.” Kalimat pembuka dari Dr. Tengsoe Tjahjono ini menjadi benang merah dalam diskusi sastra bertajuk Sastra dan Realitas, yang digelar oleh Dewan Kesenian Blambangan (DKB) bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi di Palinggihan Disbudpar, Kamis (29/5/2025) malam.
Diskusi menghadirkan Tengsoe Tjahjono, sastrawan dan dosen Universitas Brawijaya Malang, serta dipandu oleh Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi. Acara ini bukan sekadar forum gagasan, tetapi ajang refleksi atas peran sastra sebagai kekuatan penggerak kesadaran dan pencipta makna.
“Di tangan ilmuwan, A menjadi A. Tapi di tangan penyair, A bisa menjadi A plus,” kata Tengsoe. Ia menegaskan bahwa penyair bukan pengganda kenyataan, melainkan pemberi napas baru pada realita yang biasa-biasa saja.
Tengsoe juga membantah anggapan bahwa penyair tidak bisa hidup dari karya. “Banyak penyair keliling dunia karena puisinya,” ujarnya. Ia mendorong semua kalangan, termasuk petani dan nelayan, untuk menulis dan mengarsipkan pengalaman hidup dalam bentuk sastra.
Dalam kesempatan itu, ia menyinggung antologi puisinya berjudul Jenggirat, yang terinspirasi dari kenangan masa kecilnya di Banyuwangi. “Tanah ini adalah sumber inspirasi awal yang tak pernah habis,” ujarnya.
Puisi, Imajinasi, dan AI
Saat membahas peran kecerdasan buatan (AI) dalam dunia sastra, Tengsoe menyatakan bahwa AI belum mampu menandingi keberanian penyair dalam bermain dengan bahasa.
“AI itu cerdas, tapi tidak bisa nakal. Dan justru kenakalan itulah yang melahirkan puisi,” katanya. Ia menegaskan bahwa teks dari AI tetap membutuhkan sentuhan manusia agar bermakna secara sastra.
Tengsoe juga mengingatkan agar puisi tidak dibebani oleh terlalu banyak kata sambung dan menekankan pentingnya membaca. “Penulis yang tidak membaca akan terlihat dari puisinya,” tegasnya.
Antusiasme Tokoh Kebudayaan
Diskusi ini dihadiri berbagai tokoh kebudayaan Banyuwangi seperti Hasan Basri (Ketua DKB), Ayung Notonegoro, SAW Notodiharjo, Elvin Hendrata, Fatah Yasin Noer, Ki Pramoe Karno Sakti, Bung Aguk, dan Hakim Said dari Rumah Kebangsaan Basecamp Karangrejo (RKBK).
Hakim Said menekankan pentingnya imajinasi. “Berani membayangkan masa depan: rumah, mobil, bahkan istri dua. Kalau imajinasi hidup, maka kenyataan akan menyusul,” ujarnya sambil berkelakar. Ia menyatakan dukungan penuh terhadap geliat sastra lokal.
Sementara Hasan Basri menyoroti pembelajaran puisi di sekolah yang cenderung terjebak pada format lomba. “Puisi bukan ajang kompetisi. Ini ekspresi jiwa. Kita perlu indikator baru yang berakar pada pemahaman, bukan sekadar teknik,” katanya. Ia menambahkan bahwa DKB sedang merancang formula penilaian puisi yang lebih esensial.
Penutup dengan Pembacaan Puisi
Diskusi ditutup dengan sesi pembacaan puisi oleh peserta dan penyerahan cenderamata dari DKB kepada Tengsoe Tjahjono. Momen ini menjadi simbol bahwa sastra, imajinasi, dan lokalitas masih hidup serta terus tumbuh di Banyuwangi.
(Red)