Banyuwangi – Isu penghapusan komite sekolah memicu gelombang pro-kontra di kalangan pemerhati pendidikan. Di satu sisi, wacana ini muncul sebagai respons atas maraknya pungutan liar yang mengatasnamakan “sumbangan sukarela” lewat komite. Di sisi lain, langkah ini dinilai berpotensi membungkam peran masyarakat dalam mengawasi pendidikan.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, komite sekolah memiliki empat fungsi vital:
1. Memberikan pertimbangan dalam kebijakan sekolah (Pasal 3 ayat 1).
2. Menggalang dukungan dan sumber daya secara sukarela, tidak memaksa (Pasal 10 ayat 1–3).
3. Menyalurkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat (Pasal 3 ayat 3).
4. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan (Pasal 3 ayat 4).
Namun, praktik di lapangan sering jauh dari ideal. Banyak komite sekolah justru menjadi stempel legalitas pungutan, seperti yang terjadi di beberapa daerah. Di Banyuwangi, misalnya, sejumlah wali murid melaporkan pungutan pembangunan masjid sekolah hingga ratusan ribu rupiah per siswa, yang dilegitimasi dengan surat keputusan komite. Ironisnya, pungutan tersebut kerap bersifat wajib, bertentangan dengan ketentuan Pasal 10 Permendikbud 75/2016 yang menegaskan sumbangan harus sukarela, tidak mengikat, dan tidak memaksa (paksa rela), (9/8/2025)
“Kalau komite dihapus, kepala sekolah akan memiliki ruang kebijakan yang lebih bebas tanpa kontrol masyarakat. Justru yang harus dihapus itu praktik pungutan liar dan oknum yang memanipulasi aturan,” tegas Sugiarto, Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi.
Ia menambahkan, komite sekolah adalah amanat hukum. Menghapusnya tanpa revisi regulasi menteri akan menimbulkan celah hukum baru dan berpotensi melanggar asas partisipasi publik dalam pendidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pemerhati pendidikan menilai, solusi yang tepat adalah reformasi total, bukan pembubaran.
Pemilihan anggota komite harus demokratis dan transparan.
Pelatihan fungsi dan batas kewenangan agar komite tidak menjadi alat pungli.
Publikasi laporan keuangan dan program secara terbuka.
Tanpa langkah tersebut, penghapusan komite sekolah justru akan melahirkan monopoli kebijakan oleh kepala sekolah, menutup saluran aspirasi orang tua, dan mengurangi transparansi pengelolaan dana pendidikan.
(Red)