GaneshaBWI – Kebijakan fiskal merupakan instrumen vital dalam menjaga keberlangsungan ekonomi negara. Pada 2025, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan meluncurkan paket kebijakan strategis: penerapan global minimum tax 15%, pemberian insentif PPN untuk rumah tapak dan rumah susun, efisiensi belanja negara dengan target penghematan Rp306,7 triliun, serta penempatan Rp200 triliun dana pemerintah di perbankan. Langkah ini diambil untuk meredam gejolak ekonomi global, mencegah defisit APBN, dan memperkuat daya tahan fiskal nasional.
Namun, kebijakan ini juga menyimpan potensi risiko, terutama praktik resale atau mark-up margin keuangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
Global Minimum Tax: Upaya Keadilan Pajak yang Rentan Celah
Penerapan global minimum tax menjadi langkah maju untuk menutup ruang penghindaran pajak perusahaan multinasional. Meski demikian, praktik profit shifting melalui transfer pricing masih rawan terjadi. Tanpa pengawasan ketat, perusahaan besar bisa memanfaatkan celah melalui kontrak keuangan yang dimodifikasi dalam bentuk resale.
Insentif PPN: Dorongan Pasar atau Potensi Mark-Up?
Insentif PPN rumah diharapkan mampu meningkatkan daya beli dan akses masyarakat terhadap hunian. Namun, terdapat risiko pengembang justru menaikkan harga jual, sehingga masyarakat menengah-bawah tidak merasakan manfaat nyata. Alih-alih meringankan, insentif ini bisa menjadi celah resale margin yang menguntungkan pihak tertentu.
Efisiensi Belanja Negara: Hemat Tanpa Hambat
Penghematan Rp306,7 triliun merupakan target ambisius. Pertanyaan utama adalah sektor mana yang akan dipangkas? Jika efisiensi menyasar belanja modal produktif atau layanan publik dasar, justru dapat menghambat pembangunan jangka panjang. Efisiensi harus dilakukan secara selektif, bukan sekadar pemangkasan angka.
Dana Pemerintah di Bank: Kredit Produktif atau Spekulatif?
Dana Rp200 triliun yang ditempatkan pemerintah di perbankan idealnya mendorong kredit produktif bagi UMKM. Namun, jika disalurkan dengan bunga tinggi atau dialihkan ke instrumen non-produktif seperti obligasi dan afiliasi tertentu, manfaatnya bagi masyarakat akan minim. Hal ini hanya akan memperkuat dominasi sektor keuangan tanpa dampak riil.
Penutup: Transparansi Sebagai Penentu
Kebijakan fiskal 2025 perlu diapresiasi karena berorientasi pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, risiko penyalahgunaan melalui praktik resale margin harus diantisipasi sejak dini. Transparansi, regulasi ketat, serta pengawasan independen menjadi kunci untuk memastikan kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi.
(Red)