Banyuwangi — Suasana panas mewarnai kunjungan Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi, Sugiarto, ke RSUD Blambangan Banyuwangi, Selasa (14/10/2025).
Kedatangan tersebut bukan tanpa alasan. Ini adalah kunjungan ketiga kalinya Sugiarto bersama timnya untuk menemui Wakil Direktur RSUD Blambangan, Budi, guna menyampaikan sejumlah persoalan penting terkait di Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi.
Namun, pertemuan yang diharapkan tak kunjung terjadi. Bahkan, menurut Sugiarto, komunikasi melalui pesan WhatsApp ke nomor pribadi Wadir RSUD maupun Kepala Dinas Kesehatan tak pernah direspons secara layak.
“Kami sudah tiga kali datang ke RSUD Blambangan. Sudah japri lewat WA, tapi tidak dibalas. Nomor kami seperti diblokir. Entah HP-nya rusak, atau mungkin mereka memang tidak mau berkomunikasi dengan rakyat,” tegas Sugiarto, dengan nada kecewa mendalam.
Ia menambahkan, pola komunikasi pejabat publik di lingkungan Dinas Kesehatan Banyuwangi ini jauh dari etika dan semangat pelayanan publik. Bahkan, dalam pantauannya, pejabat terkait justru lebih mudah berkomunikasi dengan Wakil Bupati atau Sekda, ketimbang dengan masyarakat yang datang membawa aspirasi dan pengaduan.
“Kami masyarakat datang bukan mau ngemis, bukan minta proyek. Kami datang membawa materi dan masalah yang nyata di lapangan. Tapi kalau rakyat saja tidak dianggap, untuk apa mereka duduk di kursi jabatan publik?” ungkapnya keras.
Sugiarto juga menyinggung pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi yang pernah mengatakan, “Jangan dikit-dikit ke APH (Aparat Penegak Hukum)”.
Pernyataan itu, menurutnya, menjadi ironi besar, karena saluran komunikasi resmi saja tidak difungsikan dengan baik oleh pejabat-pejabat yang seharusnya terbuka dan responsif terhadap masyarakat.
“Kalau komunikasi kami diabaikan, laporan kami dibungkam, dan pintu dialog ditutup rapat—ya tentu kami akan menempuh jalur hukum. Jangan salahkan masyarakat jika akhirnya semua dilaporkan ke APH,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut, Sugiarto menceritakan bahwa sebelum ke RSUD Blambangan, pihaknya telah menghubungi Humas RSUD untuk memastikan waktu bertemu. Namun, yang diterima justru sederet alasan klise dan saling lempar tanggung jawab.
“Kami sudah konfirmasi lewat telepon. Dari Genteng ke Banyuwangi kami datang langsung, tapi sesampainya di sini alasannya berputar-putar. Katanya harus ketemu asisten pribadi Wadir. Tapi bahkan asisten pribadinya saja menolak kami, seolah kami ini tidak pantas bertemu dengan pejabat publik. Ini benar-benar mencerminkan arogansi birokrasi,” sindir Sugiarto.
Ia menegaskan, oknum pejabat yang alergi kritik dan menutup diri terhadap masyarakat tidak layak dijadikan cerminan atau teladan. Menurutnya, pejabat publik bukan hanya dituntut pintar bicara di forum resmi, tetapi juga harus punya rasa empati, sikap terbuka, dan tanggung jawab moral terhadap rakyat.
“Kami sangat kecewa. Ini bentuk kemunduran moral birokrasi. Pejabat publik yang seperti ini tidak layak dijadikan contoh. Kalau komunikasi saja tidak bisa dijaga, bagaimana bisa dipercaya mengelola urusan kesehatan masyarakat?” ujarnya tajam.
Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi menyatakan akan menyusun laporan resmi ke lembaga pengawas dan aparat penegak hukum, jika dalam waktu dekat tidak ada klarifikasi terbuka dari pihak Dinas Kesehatan maupun RSUD Blambangan.
Langkah ini, menurut Sugiarto, bukan bentuk perlawanan pribadi, tetapi upaya mengembalikan marwah pelayanan publik di Banyuwangi agar tidak dikuasai oleh oknum yang anti-kritik dan anti rakyat.
(Red)















