Banyuwangi – Di banyak sekolah, komite yang seharusnya menjadi mitra kritis dan independen justru berubah menjadi “kepanjangan tangan” kepala sekolah. Fenomena ini terjadi karena dua pelanggaran mendasar yang terus berulang:
1. Komite dibentuk melalui Surat Keputusan (SK) kepala sekolah.
2. Masa jabatan komite tidak pernah diganti, meski aturan sudah jelas membatasinya.
Padahal, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 menegaskan:
- Pasal 3 ayat (2): Komite dibentuk melalui rapat orang tua/wali dan pihak yang peduli pendidikan, bukan melalui SK kepala sekolah.
- Pasal 6 ayat (5): Masa jabatan komite adalah 3 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali periode.
Namun, di lapangan, banyak komite menjabat hingga belasan tahun tanpa pergantian. Bahkan, proses pembentukannya dilakukan tertutup oleh kepala sekolah, tanpa melibatkan wali murid secara demokratis.
Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi, Sugiarto, mengecam keras praktik ini.
“Kalau dibentuk lewat SK kepala sekolah, otomatis komite kehilangan independensi. Apalagi kalau menjabat terlalu lama, mereka akan menjadi pengawal kebijakan kepala sekolah, bukan pengawas,” tegasnya.
Sugiarto menilai, kondisi ini mengakibatkan beberapa dampak serius:
- Pengawasan lemah, karena komite cenderung setuju pada semua kebijakan sekolah.
- Penyalahgunaan wewenang rawan terjadi, terutama dalam pengelolaan sumbangan dan program sekolah.
- Partisipasi masyarakat terabaikan, sebab orang tua/wali siswa tidak pernah dilibatkan dalam pemilihan.
Pemerhati pendidikan mendesak Dinas Pendidikan dan Dewan Pendidikan untuk:
- Membatalkan komite bentukan SK kepala sekolah.
- Menetapkan jadwal resmi pergantian komite di seluruh sekolah.
- Memastikan pemilihan dilakukan terbuka dan melibatkan semua pihak terkait.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi juga pelemahan fungsi kontrol pendidikan. Jika tidak dibenahi, sekolah akan kehilangan mitra kritisnya,” pungkas Sugiarto.
(Red)