Banyuwangi – Kunjungan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka ke Banyuwangi semestinya menjadi momentum penting untuk menunjukkan lompatan inovasi daerah yang membanggakan. Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi justru kembali menyuguhkan agenda yang repetitif: panen tebu, pasar rakyat, dan kampung lobsterβbukan inovasi disruptif, bukan hasil riset unggulan, dan bukan capaian teknologi strategis.
Dengan utang daerah sebesar Rp490 miliar, publik berharap ada pencapaian nyata yang ditampilkan. Panen tebu dengan rendemen biasa tidak dapat dianggap sebagai terobosan strategis, kecuali jika itu hasil riset lokal yang mampu menciptakan tebu berdiameter 50 cm dan menyelesaikan defisit 3 juta ton gula nasional. Fakta di lapangan, yang ditampilkan hanyalah seremoni yang tidak menyentuh akar persoalan.
Kampung lobster pun demikian. Saat Vietnam menguasai teknologi pembesaran lobster hingga 1 kg yang notabene benihnya berasal dari Indonesia mengapa Banyuwangi tidak tampil sebagai pionir dalam teknologi budidaya perikanan nasional?
Padahal, Banyuwangi pernah dikenal dengan terobosan berani seperti Mall Pelayanan Publik (MPP) yang menjadi rujukan nasional. Namun kini, layanan perizinan di MPP justru dilaporkan melemah. Digitalisasi yang seharusnya menyederhanakan birokrasi malah memperumit, bahkan dikeluhkan dari internal pemerintahan sendiri.
Lebih jauh, perencanaan tata ruang dianggap tidak partisipatif. Ploting pembangunan tanpa melibatkan petani dan pemilik lahan justru menciptakan keresahan serta menghambat produktivitas masyarakat. Banyak kebijakan terasa elitis, jauh dari kebutuhan riil warga.
Dengan utang Rp490 miliar, publik menunggu lompatan besar: penciptaan lapangan kerja, proyek strategis berbasis riset, dan peningkatan nilai tambah ekonomi. Alih-alih itu, publik justru disuguhi pameran simbolik.
Apakah tidak lebih relevan bila Wapres ditunjukkan kawasan tambang Tumpang Pitu yang merusak lingkungan namun tak signifikan mengurangi pengangguran atau eksodus TKI?
Fakta lain: setiap tahun, lebih dari 6.000 perceraian terjadi di Banyuwangi, mayoritas karena persoalan ekonomi. Ini adalah cermin bahwa kesejahteraan belum benar-benar dirasakan.
Gerak Wakil Presiden adalah momentum mahal baik secara anggaran maupun strategi. Sudah seharusnya, pemimpin daerah menyajikan inovasi kelas dunia berbasis riset dan teknologi, bukan sekadar panen rumput odot.
Banyuwangi tidak kekurangan sumber daya, tapi mulai kehilangan visi. Jika kunjungan pejabat tinggi negara hanya dijawab dengan seremoni biasa, maka publik berhak bertanya: ke mana arah kepemimpinan inovatif Banyuwangi hari ini?
Semoga di kunjungan tamu negara berikutnya, yang disajikan bukan lagi panen biasa, tapi panen dari hasil riset luar biasa.
(Red)