Banyuwangi — Setelah vakum hampir lima tahun, pengajian Ahad pagi bertajuk Majelis Taklim Nelesi Ati resmi kembali digelar di Pondok Pesantren Adz Dzikra, Banyuwangi, Minggu (15/6/2025). Kegiatan ini bukan sekadar ritual pengajian, melainkan kebangkitan ruh spiritual dan pendidikan karakter yang selama ini menjadi fondasi gerakan sosial dan dakwah pesantren.
Digelar mulai pukul 06.00 WIB di Aula Sidqi Maulana, pengajian dihadiri ratusan jamaah dari berbagai lapisan masyarakat. Hadir pula tokoh strategis seperti Sekretaris MUI Banyuwangi, pengurus GM FKPPI PC-1325, aktivis ormas keagamaan, dan perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Indonesia (YLBHKI).
Pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren, KH. Ir. Achmad Wahyudi, S.H., M.H., dalam sambutannya menegaskan bahwa Nelesi Ati bukan agenda seremonial semata, tetapi ruang silaturahmi dan pembentukan karakter yang mendalam. Ia mengisahkan bahwa pengajian ini bahkan sudah ada sebelum pondok berdiri secara fisik, dimulai dari kegiatan anjangsana rumah ke rumah yang pernah menjaring lebih dari 1500 jamaah.
Sebelum tausiyah utama, sejumlah santri ditunjuk wali mereka untuk tampil ke depan menyampaikan materi keislaman. Beberapa membawakan kisah Nabi Yusuf AS, membandingkan perjalanan beliau dengan figur nasional Prabowo Subianto yang juga pernah mengalami ujian berat sebelum dipercaya memimpin bangsa. Penyampaian santri tersebut mendapat apresiasi luar biasa karena menunjukkan keberanian dan pemahaman kontekstual yang tajam.
Dalam ceramahnya, KH. Wahyudi menguraikan tafsir Surah Al-A’raf ayat 165 dan Al-An’am ayat 44. Ia mengingatkan jamaah bahwa tidak semua kenikmatan adalah berkah. Bila nikmat membuat seseorang jauh dari Allah, itu adalah istidraj—jebakan dunia yang menjauhkan dari kesadaran spiritual. Ia juga mengutip Surah Al-Insyirah ayat 5-6, menegaskan pentingnya kesabaran dan kesungguhan dalam menghadapi tantangan hidup.
KH Wahyudi menekankan bahwa hidup adalah perjuangan. Jika ingin mutiara, harus menyelam ke laut. Jika ingin emas, harus menggali tanah. Ia menutup tausiyahnya dengan dorongan untuk tidak menyerah dan terus menyambung harapan kepada Allah.
Pengajian ini juga dirangkai dengan pemberian santunan kepada anak yatim piatu yang diundang khusus. KH Wahyudi secara pribadi menegaskan siap menanggung kekurangan dana agar kegiatan ini berjalan istiqamah setiap pekan.
Dalam bagian yang menyentuh, KH Wahyudi mengungkap pesan ulang tahun dari anaknya yang meminta sang ayah lebih sabar dan tidak mudah marah. Ia mengaku sebagai pribadi kolerik yang tegas, cepat, dan penuh tujuan, tetapi terus berusaha menyeimbangkan sikap dengan kelembutan dan kasih sayang.
Sekretaris MUI Banyuwangi, Ayung Notonegoro, memberikan apresiasi terhadap pendekatan pendidikan karakter dan keterampilan berbicara di pondok ini. Menurutnya, kemampuan komunikasi bukan hanya bekal duniawi, tetapi juga bagian dari warisan kenabian yang sangat penting dalam dakwah.
Santri senior, Ibnu, menyampaikan bahwa kedisiplinan di Adz Dzikra tidak dibangun oleh aturan ketat, tetapi tumbuh melalui kebiasaan dan budaya yang dibentuk dengan cinta dan kesadaran. Ia menyebut konsep Madrasah Kader di pondok tersebut berhasil melahirkan calon pemimpin umat yang matang secara spiritual dan sosial.
Uyung Sadewa dari YLBHKI memberikan testimoni tentang keikhlasan KH Wahyudi. Ia mengaku bukan santri formal, tetapi merasa menjadi bagian dari keluarga pesantren karena perhatian pengasuh yang terus berlanjut, bahkan setelah lulus, dalam bentuk bantuan beasiswa hingga akses pekerjaan.
Kembalinya pengajian Nelesi Ati menjadi penanda kebangkitan nilai spiritual yang berorientasi pada aksi sosial, pembentukan karakter, dan penyadaran publik melalui dakwah yang membumi. Dengan agenda yang akan dilanjutkan setiap pekan, Majelis Taklim Nelesi Ati diharapkan terus menjadi cahaya dan pemantik perubahan positif bagi masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya.
(Red)