Banyuwangi – Menjelang Lebaran Idulfitri 2025, seharusnya pasar tradisional dipadati pembeli. Namun, suasana di Relokasi Pasar Induk Banyuwangi yang terletak di Jl. RA Kartini (Gedung Wanita) justru sepi. Para pedagang mengeluhkan minimnya pembeli, bahkan sebagian terancam gulung tikar akibat omzet yang merosot drastis.
Ketua Paguyuban Pasar Joko Tole, Agus Hariyono, menyesalkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib pedagang yang terdampak relokasi.
“Miris, Mas. Banyak pedagang yang tutup sejak pindah ke sini. Pemkab dulu bilang akan mewajibkan belanja di sini tiap tanggal cantik, tapi itu hanya sekali dilakukan. Sekarang, bupati dan wakil bupati pun sudah tidak pernah mengunjungi pasar ini,” ujarnya, Rabu (26/03/25).
Pedagang seperti Bu Sri, yang menjual kebutuhan pokok, bahkan tidak mendapat satu pun pembeli dalam sehari.
“Untung masih ada kiriman uang dari anak. Kalau sayur tidak laku, terpaksa dibagikan ke orang lain,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Sementara itu, Bu Misna, pedagang udang, hanya memperoleh Rp25.000 dari pagi hingga sore. Bu Ani, yang dulu bisa menjual 50 kg pindang per hari, kini butuh dua hari hanya untuk menjual 20 kg.
Yang lebih terdampak adalah Bu Lis, pemilik usaha selep kelapa sekaligus perawat anak yatim piatu.
“Kadang sehari tidak ada pembeli sama sekali. Hutang di bank harian makin menumpuk, sedangkan hasil jualan kadang cuma Rp5.000 sehari,” tuturnya sedih.
Di sisi lain, pembangunan Pasar Induk Banyuwangi oleh PT. Lince Romauli Raya baru mencapai 30% progres. Dengan kondisi ini, target selesai Oktober 2025 dinilai sulit tercapai.
Ahli bangunan Andi Purnama, S.T., menyebut proyek ini tidak menunjukkan kemajuan signifikan.
“Banyak bahan bangunan berserakan dan pekerja tidak dilengkapi APD. Jika ini terus berlanjut, proyek pasti molor,” ungkapnya.
Dengan kondisi pasar yang sepi dan pembangunan yang belum jelas kapan rampung, para pedagang berharap ada perhatian lebih dari pemerintah agar mereka bisa bertahan hingga Pasar Induk Banyuwangi kembali beroperasi.
(Red)