Banyuwangi β Ribuan warga memadati Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, pada Minggu (6/7/2025), untuk merayakan ritual adat Kebo-keboan. Tradisi sakral yang digelar setiap awal bulan Suro ini bukan hanya menjadi tontonan budaya, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal yang mengakar kuat di masyarakat agraris.
Sejak pagi, simpang empat Balai Dusun Krajan yang menjadi pusat ritual dipenuhi lautan manusia. Tak hanya warga lokal, wisatawan dan pegiat budaya turut hadir menyemarakkan prosesi yang diyakini telah ada sejak abad ke-18.
Bersamaan dengan itu, geliat ekonomi rakyat bergerak dinamis. Ratusan pedagang kaki lima memadati sepanjang jalur desa, menjajakan kuliner, kerajinan tangan, hingga suvenir khas Banyuwangi. Fenomena ini menegaskan bahwa Kebo-keboan bukan hanya warisan budaya, tetapi juga penggerak ekonomi lokal.
Kepala Desa Alasmalang, Abdul Munir, menegaskan bahwa ritual Kebo-keboan adalah bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.
βIni bukan sekadar tontonan. Ada nilai spiritual dan filosofi mendalam, yakni rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi dan harapan akan kesuburan lahan. Pemerintah desa berkomitmen melestarikan tradisi ini sebagai warisan leluhur sekaligus potensi wisata budaya,β ujar Abdul Munir.
Acara dibuka dengan kenduri dan makan tumpeng bersama, dihadiri jajaran Pemkab Banyuwangi, tokoh adat, dan masyarakat. Momen ini menjadi simbol persatuan dan ungkapan syukur kolektif.
Puncak acara menjadi daya tarik utama. Puluhan pemuda desa berperan sebagai βKeboβ, melumuri tubuh dengan lumpur hitam, mengenakan tanduk tiruan, dan menggantungkan genta di leher. Mereka beraksi layaknya kerbau membajak sawah, berlarian dan menari di antara penonton.
Adegan spontan saat para βKeboβ mengusapkan lumpur ke wajah penonton justru memicu tawa riuh, menciptakan suasana guyub khas tradisi rakyat.
Tak kalah menarik, barisan ibu-ibu petani turut dalam arak-arakan. Mengenakan busana adat Suku Osing, mereka memikul wakul berisi hasil bumi seperti padi, singkong, jagung, dan sayuran, sambil berkeliling desa.
βAksi simbolik ini menegaskan pesan spiritual, bahwa bumi yang subur harus disyukuri dan dikelola bersama demi kemakmuran kolektif,β ungkap Abdul Munir.
Ritual Kebo-keboan tidak hanya sarat nilai estetika dan folklor, tetapi juga membawa pesan ekologis dan sosial. Bagi masyarakat Alasmalang, sosok kerbau bukan sekadar simbol tenaga tani, melainkan representasi hubungan harmonis manusia dengan alam dan Sang Pencipta. Tradisi ini menjadi doa kolektif masyarakat agraris untuk memohon hujan, tanah subur, dan hasil panen melimpah.
Dengan dukungan pemerintah daerah serta keterlibatan aktif masyarakat, Kebo-keboan terus hidup sebagai tonggak budaya Banyuwangi. Tak hanya dilestarikan, tetapi juga dikembangkan sebagai bagian dari diplomasi budaya dan ekonomi kreatif daerah.
(Red)