Banyuwangi – Di balik papan nama “Komite Sekolah” yang terdengar resmi dan bermartabat, tersimpan cerita kelam yang jarang diungkap. Lembaga yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan orang tua untuk mengawasi pendidikan ini, di banyak sekolah justru berubah menjadi mesin legalisasi pungutan liar.
Kasus terbaru di Banyuwangi menjadi gambaran jelasnya. Sejumlah wali murid mengaku “dipaksa sukarela” menyetor iuran ratusan ribu rupiah untuk pembangunan masjid sekolah. Surat keputusan komite digunakan sebagai tameng, meski Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 10 tegas melarang pungutan yang mengikat dan memaksa, (9/8/2025)
“Ini seperti memaksa orang miskin ikut arisan mewah. Tidak ada pilihan, tidak ada keberanian untuk menolak,” ungkap seorang wali murid yang meminta identitasnya disamarkan.
Namun di tengah sorotan publik, muncul wacana yang lebih ekstrem: hapus saja komite sekolah. Alasan yang dilemparkan sederhana—jika biang masalahnya di komite, maka hilangkan komitenya. Tapi logika ini dikritik keras oleh pemerhati pendidikan.
“Menghapus komite sama saja membunuh fungsi kontrol masyarakat. Masalahnya bukan pada lembaganya, tapi pada oknum dan sistem yang membiarkan penyimpangan,” tegas Sugiarto, Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi.
Secara hukum, keberadaan komite sekolah adalah amanat Permendikbud 75/2016 dan selaras dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjamin partisipasi publik. Jika dihapus tanpa revisi peraturan, konsekuensinya bisa menimbulkan krisis legitimasi kebijakan sekolah dan menutup akses resmi orang tua untuk mengawasi jalannya pendidikan.
Penghapusan komite justru berpotensi memperkuat monopoli kebijakan oleh kepala sekolah. Tanpa jembatan aspirasi, keputusan soal anggaran, fasilitas, hingga program sekolah akan dibuat secara sepihak. Transparansi bisa berubah menjadi slogan kosong, sementara ruang kritik publik semakin menyempit.
Alternatifnya? Reformasi total. Pemilihan anggota komite secara demokratis, pelatihan batas kewenangan, serta publikasi laporan keuangan secara berkala. Jika tidak, komite sekolah akan terus menjadi “macan ompong” atau lebih buruk—“macan pemangsa” yang menakuti wali murid.
Skandal komite sekolah ini adalah cermin dari carut-marut tata kelola pendidikan di tingkat akar rumput. Menghapus komite bukan jawaban, karena yang harus dihapus adalah budaya pungli yang bersembunyi di balik kata ‘sukarela’. Namun yang terjadi dilapangan adalah ‘Paksa rela’,
(Red)