Banyuwangi, 17 Agustus 2025 – Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi, Sugiarto, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap aktivitas yang diduga merupakan tambang galian C ilegal di kawasan Dusun Pancoran, Desa Rogojampi, Kecamatan Rogojampi, yang berbatasan dengan Desa Karangbendo.
Ia menuturkan bahwa lahan pertanian produktif di wilayah tersebut kini berubah wajah akibat pengerukan masif dengan menggunakan sedikitnya tiga unit alat berat ekskavator PC-200. Jalan aspal yang sebelumnya menjadi akses vital masyarakat pun perlahan mengalami degradasi, berubah menyerupai jalan tanah.
“Ini jelas bukan sekadar perbaikan lahan, melainkan sebuah dugaan pengrusakan ekologis apabila tidak disertai reklamasi. Apabila praktik ini dibiarkan, maka Rogojampi berpotensi memiliki kubangan kedua, sebagaimana bekas galian di depan AIL yang hingga hari ini tidak tersentuh pemulihan,” tegasnya.
Keadilan dalam Penegakan Hukum
Lebih lanjut, Sugiarto menggarisbawahi pentingnya kesetaraan perlakuan hukum. Menurutnya, prinsip hukum tidak boleh ditafsirkan secara diskriminatif, melainkan harus menegakkan asas keadilan yang menyeluruh.
“Kalau satu tambang ditindak, semua harus ditindak. Kalau satu diberi diskresi kebijakan, maka semua pun harus memperoleh perlakuan yang sama. Karena hukum sejatinya adalah instrumen kesetaraan, bukan alat legitimasi kepentingan,” ujarnya dengan nada serius.
Seruan tersebut dialamatkan kepada Polda Jawa Timur, Polresta Banyuwangi, dan Polsek Rogojampi, agar segera menindaklanjuti temuan di lapangan. Ia menegaskan, informasi ini disampaikan bukan untuk menjatuhkan pihak tertentu, melainkan sebagai upaya mendorong tegaknya hukum secara proporsional.
Aspek Hukum dan Konsekuensi
Secara normatif, aktivitas pertambangan galian C tanpa izin merupakan pelanggaran berat. Pasal 158 Undang-Undang Minerba menegaskan, setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup menambahkan kewajiban pemulihan ekologis bagi setiap kerusakan yang ditimbulkan.
“Jika hukum hanya menjadi retorika, maka kerusakan lingkungan akan menjadi warisan kolektif yang kita sesali. Tetapi jika hukum ditegakkan secara adil, ia akan menjadi instrumen peradaban yang menyelamatkan manusia dan alam,” ungkap Sugiarto.
Refleksi Moral dan Sosial
Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi memandang, persoalan tambang ilegal bukan sekadar isu ekonomi, melainkan menyangkut integritas hukum, keberlanjutan lingkungan, dan keselamatan generasi mendatang. Lahan pertanian yang semestinya menopang ketahanan pangan justru terancam berubah menjadi kubangan tanpa nilai.
Dalam penutup pernyataannya, Sugiarto menekankan bahwa hukum tidak boleh terjebak pada kepentingan sesaat. “Keadilan harus hadir sebagai kenyataan, bukan hanya wacana. Bila aparat dan pengusaha mampu menjalankan hukum dengan hati nurani, maka Banyuwangi akan terhindar dari luka ekologis dan sosial yang lebih dalam,” pungkasnya.
(Red)