Banyuwangi β Penegakan hukum di Banyuwangi menjadi sorotan publik setelah proses hukum kasus dugaan korupsi anggaran makanan dan minuman (mamin) fiktif di Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan (BKPP) Banyuwangi hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan. Kasus ini menyeret Nafiul Huda sebagai tersangka sejak Oktober 2022 dengan kerugian negara mencapai Rp433 juta.
Meski sudah lebih dari dua tahun sejak penetapan tersangka, perkara ini belum dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini menuai kontroversi, terutama setelah adanya putusan praperadilan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima dan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Kasus bermula dari dugaan pencairan anggaran mamin fiktif di BKPP Banyuwangi tahun anggaran 2021. Berdasarkan audit Inspektorat Kabupaten Banyuwangi, kerugian negara mencapai Rp433.794.200, sebagaimana tertuang dalam laporan nomor 700/1221/429.060/2022.
Penyidik telah memeriksa 50 saksi, dua ahli pidana, dan melakukan penghitungan kerugian negara dengan hasil tersebut. Selain itu, tersangka diketahui telah mengembalikan kerugian negara pada 14 November 2022. Namun, berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999, pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Penyidik sebelumnya menjerat tersangka dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Namun, hingga kini, proses penuntutan tidak kunjung dilakukan, sehingga memicu kritik terkait lambannya penanganan kasus.
Ahli hukum menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat menjadi faktor meringankan hukuman, tetapi tidak menghapuskan pidana. “Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” ujar salah satu akademisi.
Keputusan menghentikan penyidikan (SP3) menjadi pemicu utama kontroversi. Publik mempertanyakan alasan penghentian kasus yang sudah memiliki bukti kuat dan dinilai merugikan kepercayaan terhadap proses hukum.
(Red).