Banyuwangi — Kritik tajam kembali dilontarkan Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi, Sugiarto, terhadap perilaku oknum pejabat di lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) dan RSUD Blambangan Banyuwangi. Dalam pernyataannya yang disertai dokumentasi di lapangan, Sugiarto menilai para pejabat publik di instansi tersebut telah menunjukkan sikap yang tidak mencerminkan pelayanan publik yang baik dan justru memperlihatkan arogansi birokrasi tingkat tinggi.
Dalam unggahan viral yang kini ramai diperbincangkan, terpampang tulisan tegas:
“Menemui pejabat Dinas Kesehatan dan RSUD rasanya lebih sulit daripada bertemu Presiden saja!?”
Pernyataan tersebut bukan sekadar sindiran emosional, tetapi reaksi nyata dari kekecewaan masyarakat terhadap tertutupnya komunikasi antara publik dengan pejabat Dinkes dan RSUD Blambangan Banyuwangi.
Sugiarto menuturkan bahwa pihaknya telah tiga kali mendatangi langsung RSUD Blambangan Banyuwangi, dengan niat baik untuk menyampaikan aspirasi serta sejumlah temuan.Namun, upaya tersebut berulang kali diabaikan tanpa kejelasan maupun etika tanggapan yang layak.
“Kami datang secara sopan, membawa surat resmi dan materi pembahasan. Tapi justru yang kami dapat hanya alasan demi alasan. Japri ke nomor WA Wadir dan Kadinkes pun tidak dibalas, bahkan seperti diblokir. Kalau rakyat mau menyampaikan aspirasi saja susah, bagaimana bisa disebut pelayanan publik?” ujar Sugiarto dengan nada kecewa.
Lebih lanjut, Sugiarto menegaskan bahwa perilaku pejabat yang anti-kritik dan menutup diri terhadap masyarakat bukan hanya memalukan, tetapi juga mencederai semangat reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan pemerintah daerah.
“Kami masyarakat datang bukan untuk mengemis. Kami datang untuk mengingatkan dan menyampaikan aspirasi rakyat. Tapi kalau mental pejabatnya seperti ini—merasa lebih tinggi dari rakyat—maka mereka tidak layak menjadi pelayan publik,” tegasnya.
Ia juga menyindir keras bahwa Dinas Kesehatan Banyuwangi seolah menjadi satu-satunya instansi yang memberikan “perlakuan terhormat” dengan cara menolak komunikasi langsung dengan masyarakat, sebuah bentuk penghinaan terhadap prinsip keterbukaan publik.
“Apresiasi buat Dinkes Banyuwangi, karena mungkin hanya mereka yang berhasil membuat rakyat merasa tidak pantas bertemu pejabat publik. Ini ironi di tengah semangat pelayanan prima yang selalu dikampanyekan Bupati,” sindirnya tajam.
Menurut Sugiarto, sikap dingin dan tertutup tersebut justru menimbulkan kecurigaan publik terhadap transparansi dan integritas pengelolaan sektor kesehatan di Banyuwangi.
“Kalau dialog saja ditutup, publik bisa bertanya-tanya: ada apa yang disembunyikan? Mengapa begitu takut ditemui masyarakat? Jangan sampai RSUD dan Dinkes menjadi lembaga yang kehilangan kepercayaan publik hanya karena oknum pejabatnya bersikap arogan,” tambahnya.
Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi berkomitmen untuk terus mengawal isu ini hingga ada tanggapan resmi dari pihak Dinas Kesehatan maupun RSUD Blambangan, termasuk kemungkinan membawa persoalan ini ke Aparat Penegak Hukum (APH) bila ditemukan unsur pelanggaran dalam pelayanan publik.
“Kami tidak akan diam. Kalau ruang komunikasi ditutup, kami akan buka jalur hukum. Karena pelayanan publik adalah hak rakyat, bukan fasilitas eksklusif pejabat,” pungkas Sugiarto.















