Gelombang Baru Kewirausahaan
Dalam beberapa tahun terakhir, semangat wirausaha di kalangan anak muda Indonesia semakin menguat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah wirausaha meningkat dari 3,47% (2019) menjadi 3,81% (2023) dari total populasi. Meski angka ini masih di bawah standar minimal negara maju (5% menurut McClelland), tren tersebut memberi harapan lahirnya generasi pengusaha baru.
Faktor pendorongnya bukan hanya ekonomi, melainkan juga tren media sosial. Banyak anak muda terinspirasi oleh role model wirausaha muda yang sukses melalui branding personal, konten viral, hingga strategi pemasaran digital.
Passion vs Viralitas
Fenomena lifestyle entrepreneurship kini marak. Bisnis bukan lagi sekadar untuk bertahan hidup, tapi juga sebagai ekspresi diri, passion, dan gaya hidup. Contohnya, usaha kopi lokal, fesyen berbasis budaya, hingga produk digital kreatif yang menjual pengalaman, bukan sekadar barang.
Namun, ada dilema yang menyertai: banyak bisnis tumbuh cepat karena viral, tapi tidak sedikit yang tumbang akibat lemahnya fondasi manajemen. Data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, sekitar 70% UMKM baru tidak mampu bertahan lebih dari lima tahun karena kurang strategi jangka panjang.
Tantangan Wirausaha Muda
Selain masalah keberlanjutan, ada tantangan klasik yang dihadapi wirausaha muda, di antaranya:
1. Akses Permodalan β meski ada program seperti KUR, banyak wirausaha muda kesulitan karena keterbatasan agunan.
2. Literasi Bisnis β fokus pada produk sering membuat mereka abai pada keuangan, hukum usaha, hingga kewajiban pajak.
3. Persaingan Digital β e-commerce membuka pasar global, namun sekaligus menghadirkan kompetisi ketat dengan pelaku usaha besar.
Suara Mahasiswa: Optimisme dengan Catatan
Ferdi Fernando Putra, mahasiswa Agribisnis Politeknik Negeri Banyuwangi sekaligus anggota HIPMI PT Banyuwangi, menilai tren wirausaha muda harus disikapi dengan matang.
βSemangat wirausaha mahasiswa sangat tinggi, apalagi dengan dukungan digitalisasi. Namun, jangan sampai wirausaha hanya jadi ajang ikut-ikutan tren atau sekadar viral. Yang lebih penting adalah menciptakan nilai tambah, berorientasi jangka panjang, dan berkontribusi nyata pada masyarakat lokal,β ujarnya.
Menurutnya, banyak mahasiswa Banyuwangi mencoba usaha berbasis potensi lokal, seperti olahan pertanian, kopi, atau wisata. Namun, ekosistem pendukung agar usaha bisa naik kelas masih terbatas. Karena itu, sinergi antara kampus, pemerintah daerah, dan organisasi wirausaha seperti HIPMI sangat penting agar wirausaha muda tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang.
Penutup: Dari Tren ke Transformasi
Wirausaha muda Indonesia kini berada di persimpangan. Passion dan tren memang memberi energi baru, tapi tantangan modal, literasi, hingga daya tahan usaha tetap menjadi ujian besar.
Ke depan, wirausaha muda dituntut bukan hanya viral, tetapi juga mampu bertransformasi menjadi penggerak ekonomi inklusif, menciptakan lapangan kerja, memanfaatkan potensi lokal, dan bersaing di level global.
Seperti kata Ferdi, wirausaha bukan sekadar keberanian memulai, melainkan konsistensi membangun nilai jangka panjang.
(Red)