Banyuwangi — Kritik tajam disampaikan oleh Amir Makruf Khan, tokoh pemerhati kebijakan publik Banyuwangi, terhadap pernyataan pimpinan DPRD Kabupaten Banyuwangi terkait penggunaan hasil dividen dari PT Merdeka Copper Gold (PT Merdeka Pevergol). Ia menilai penjelasan tersebut janggal, penuh tanda tanya, dan berpotensi menutupi persoalan hukum yang lebih dalam.
“Keterangan pimpinan DPRD Banyuwangi yang menyebut hasil dividen dipakai untuk membayar hutang, itu perlu dikaji ulang,” tegas Amir Makruf Khan. “Dalam Perda tahun 2014 sudah jelas disebut bahwa dana yang diterima Pemkab Banyuwangi adalah hibah, bukan pinjaman. Tahun 2013 sebesar Rp10 miliar, dan tahun 2014 sebesar Rp12,9 miliar. Jadi, bagaimana mungkin hibah dianggap hutang yang harus dicicil?”
Menurutnya, pernyataan pimpinan DPRD yang mengaku tidak pernah menerima sepeser pun dari hasil dividen justru semakin memperkuat dugaan adanya kejanggalan besar dalam pengelolaan dana tambang tersebut.
“Kalau pimpinan DPRD sendiri mengaku tidak dapat apa-apa, lalu siapa yang menikmati hasilnya? Kalau memang tidak tahu, dan diam saja, ya terkesan bodoh,” sindir Amir pedas.
Pertanyakan Legalitas Izin dan Amdal PT Merdeka Copper Gold
Lebih lanjut, Amir menyoroti persoalan serius terkait legalitas izin pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Ia menyebut, terdapat kejanggalan kronologis antara izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan tahun 2012 oleh Bupati Abdullah Azwar Anas, dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang baru keluar pada tahun 2014.
“Ini harus dikaji DPRD. Apakah izin tambang boleh terbit dulu baru kemudian amdalnya menyusul? Berdasarkan undang-undang, amdal itu syarat utama sebelum izin dikeluarkan, bukan sesudahnya,” tegas Amir.
Amir menantang DPRD untuk menggunakan kewenangannya memanggil bupati, bagian hukum, dan pihak terkait termasuk BSI (Bank Syariah Indonesia) yang disebut turut menampung transaksi keuangan terkait dividen tambang tersebut.
“DPRD bisa minta arsipnya di bagian hukum. Benar tidak amdal itu baru terbit 2014? Ada tidak amdal di tahun 2012 saat izin tambang diterbitkan? Semua pasti ada arsipnya,” tegasnya.
Ledakan di Gunung Tumpang Pitu Rugikan Alam dan Warga
Amir juga mengecam keras praktik pertambangan yang menggunakan metode peledakan atau bom di Gunung Tumpang Pitu. Menurutnya, tindakan itu bukan hanya mencederai ekosistem, tapi juga melanggar prinsip kelestarian lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pertambangan.
“Gunung Tumpang Pitu sudah hancur lebur. Ledakan bom untuk menambang emas jelas merusak alam, menghancurkan hutan, dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat pesisir,” kata Amir dengan nada keras.
Ia mendesak seluruh anggota DPRD Banyuwangi agar tidak tinggal diam, dan segera membuka penyelidikan resmi terhadap seluruh dokumen perizinan, laporan keuangan, hingga proses AMDAL yang dianggap tidak sinkron dengan izin awal tambang.
“Kalau DPRD benar-benar tidak menerima apa pun, justru harus berani bersuara. Gunakan kewenangan untuk membantu Presiden Prabowo membongkar praktik korupsi dan mafia tambang. Jangan diam, karena diam itu tanda bodoh,” tutup Amir Makruf Khan.
Seruan Transparansi dan Tanggung Jawab DPRD
Dalam penutup pernyataannya, Amir menyerukan agar DPRD Banyuwangi tidak hanya menunggu laporan, tetapi aktif melakukan investigasi langsung terhadap dugaan penyimpangan hukum, kerusakan lingkungan, dan praktik pengelolaan tambang yang tidak sesuai aturan.
Ia menegaskan bahwa publik berhak tahu kebenaran tentang status dana hibah, proses AMDAL, dan izin tambang yang diduga tumpang tindih.
“Kalau tambang ini dikelola dengan benar dan terbuka, rakyat Banyuwangi bisa sejahtera tanpa harus membayar pajak sebesar sekarang. Tapi kalau dibiarkan seperti ini, rakyat hanya jadi korban keserakahan,” pungkasnya.
(Red)














