Banyuwangi, 18 Agustus 2025 – Lahan pertanian di Dusun Pancoran, Desa Rogojampi, Banyuwangi, kini berubah fungsi menjadi lokasi pengerukan tanah dengan aktivitas alat berat. Tiga ekskavator PC-200 terlihat bekerja tanpa henti, meninggalkan jejak jalan aspal yang rusak dan lahan pertanian yang terancam tak lagi produktif.
Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi, Sugiarto, menyoroti bahwa aktivitas ini bukan sekadar “perataan tanah”, melainkan indikasi kuat adanya tambang galian C ilegal yang berpotensi melahirkan “kubangan kedua”. “Kalau satu tambang ditindak, semua harus ditindak. Kalau satu diberi diskresi, maka semua harus memperoleh perlakuan yang sama. Hukum tidak boleh bermuka dua,” tegasnya.
Ia menyinggung pengalaman buruk sebelumnya, di mana bekas galian di depan AIL dibiarkan menganga tanpa reklamasi hingga kini, menjadi ancaman keselamatan warga dan kerusakan lingkungan jangka panjang.
Pakar hukum pidana menegaskan bahwa aparat penegak hukum (APH) tidak boleh ragu bertindak. “Pasal 158 Undang-Undang Minerba jelas menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin adalah tindak pidana. Penindakan tegas terhadap tambang ilegal merupakan kewajiban hukum, bukan pilihan,” ujarnya.
Pertanyaannya? “Apakah ada sejarah bekas kubangan tambang galian C ilegal bermanfaat?”.
Jawabannya? Secara hukum dan ekologi, hampir tidak ada. Kalau pun ada pemanfaatan, itu sifatnya insidental, bukan manfaat legal dan berkelanjutan.
Alasannya:
1. Tidak ada reklamasi – Tambang ilegal umumnya tidak punya kewajiban (dan tidak melakukan) reklamasi, sehingga lahan bekas tambang ditinggalkan dalam kondisi rusak.
2. Kerusakan ekologis – Kubangan dalam bisa mengubah tata air, mempercepat erosi, menurunkan kesuburan tanah, bahkan menimbulkan banjir lokal.
3. Ancaman keselamatan – Banyak kasus bekas galian menjadi kubangan air yang rawan memakan korban tenggelam, terutama anak-anak.
4. Tidak produktif – Lahan yang sebelumnya produktif (sawah, kebun, atau pemukiman) justru menjadi tidak bisa dimanfaatkan kembali.
5. Konflik sosial – Kehadiran kubangan justru memicu konflik warga dengan pengusaha tambang atau pemerintah yang dianggap lalai.
Referensi empiris:
Di banyak daerah (contoh di Blitar, Lumajang, Kulon Progo), bekas galian C justru jadi kubangan berbahaya. Ada yang kemudian berubah jadi “kolam pancing” atau tambak ikan, tapi itu sifatnya pemanfaatan darurat oleh masyarakat, bukan manfaat yang lahir dari pengelolaan legal.
Dalam perspektif akademisi hukum lingkungan, manfaat itu hanya bisa ada bila ada rehabilitasi dan reklamasi sesuai UU Minerba. Tanpa itu, kubangan hanya warisan kerusakan.
“Tidak ada sejarah yang mencatat bahwa bekas kubangan tambang ilegal memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Tanpa reklamasi, yang tersisa hanya lubang, kerusakan ekologis, dan risiko sosial. Kritik masyarakat adalah bentuk kontrol, namun legitimasi aparat tetap harus dijalankan dengan konsisten.”
Tambang ilegal, selain merusak lingkungan, juga meninggalkan warisan yang membebani generasi mendatang. Jika aparat bertindak tegas, hukum akan berdiri sebagai instrumen peradaban. Namun jika dibiarkan, Banyuwangi hanya akan mewarisi lubang baik di tanah maupun di nurani.
(Red)