Banyuwangi, 3 November 2025 — Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi, Sugiarto, resmi melayangkan surat somasi kepada pihak SMP Bustanul Makmur di bawah naungan Yayasan Bustanul Makmur 2 Genteng.
Somasi ini menyoroti dugaan penganiayaan antar santri, indikasi pemerasan Rp400 juta, serta dugaan kekerasan verbal dan psikis oleh oknum guru terhadap siswa.
“Kami datang mengirimkan somasi kepada Kepala Sekolah SMP Bustanul Makmur, dengan tembusan kepada Kemenag, Dinas Pendidikan, serta Ketua Yayasan Bustanul Makmur 2. Banyak kejanggalan dalam penanganan kasus ini, termasuk dugaan pemerasan dan perilaku tidak profesional oleh oknum guru,” tegas Sugiarto, Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi.
⚖️ Dugaan Penganiayaan dan Pemerasan Fantastis Rp400 Juta
Kasus bermula dari dugaan penganiayaan yang terjadi pada awal September 2025 di lingkungan pondok pesantren. Namun, baru diketahui pihak sekolah pada pertengahan Oktober dan dimediasi tanggal 29 Oktober 2025.
Dalam proses mediasi, muncul angka fantastis ganti rugi Rp400 juta yang harus dibayar oleh wali santri terduga pelaku — bila tidak, santri akan dikeluarkan dari sekolah.
“Angka Rp400 juta itu tidak wajar. Ini sangat kuat mengarah pada dugaan tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP, yakni: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan ancaman kekerasan atau ancaman pencemaran untuk menyerahkan barang atau uang, diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun,” ujar Sugiarto.
Ia menegaskan, jika tidak ada klarifikasi resmi dari pihak sekolah dalam waktu 1×24 jam sejak surat somasi disampaikan, maka pihaknya akan melaporkan kasus ini ke Aparat Penegak Hukum (APH).
🧠 Klaim Trauma Tanpa Bukti Medis dan Kejanggalan Proses Mediasi
Sugiarto juga menyoroti ketidakwajaran klaim trauma yang disampaikan salah satu wali santri korban.
“Klaim anak trauma dan opname dua kali tapi tanpa bukti visum atau rekam medis adalah kejanggalan. Secara medis, trauma akibat kekerasan fisik terjadi seketika, bukan sebulan kemudian,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan kehadiran seorang oknum yang diduga tidak berwenang namun hadir dalam forum mediasi, diduga memengaruhi suasana dan keputusan secara tidak profesional.
🧒 Bullying Guru = Kekerasan Psikis, Pelanggaran UU Perlindungan Anak
Dalam temuan lain, terdapat laporan oknum guru senior melakukan perundungan verbal kepada siswa, bahkan dengan ucapan yang tidak pantas.
“Ada guru mengatakan, ‘Apakah bapak ibumu tidak wuduk dan sholat dulu waktu mau bikin kamu?’ — ini bukan teguran, ini penghinaan. Guru dilarang keras melakukan kekerasan psikis terhadap siswa,” kata Sugiarto.
Tindakan ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengubah UU Nomor 23 Tahun 2002, khususnya:
- Pasal 54 ayat (1): Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, maupun pihak lain.
- Pasal 76C: Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Sanksinya ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (1):
“Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak dipidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.”
Selain itu, Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan juga melarang keras segala bentuk intimidasi, diskriminasi, atau pelecehan verbal oleh guru kepada siswa.
📣 Desakan Investigasi dari Dinas Pendidikan dan Kemenag Banyuwangi
Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi meminta Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, Bapak Suratno, serta Kepala Kemenag Banyuwangi, H. Roni, untuk segera menurunkan tim investigasi independen ke SMP Bustanul Makmur dan Yayasan Bustanul Makmur 2 Genteng.
“Kami menduga kasus seperti ini bukan yang pertama. Kami minta Dinas dan Kemenag turun langsung untuk memastikan lingkungan pendidikan tetap aman, beradab, dan bebas dari praktik kekerasan maupun pemerasan,” ujarnya.
Sugiarto juga menilai pihak yayasan perlu melakukan introspeksi total atas sistem pengawasan di pondok dan sekolah, karena santri berada dalam tanggung jawab penuh yayasan selama 24 jam.
🧩 Penegasan: Kenakalan Anak Bukan Kriminalitas
Sugiarto menegaskan, kasus penganiayaan antar santri tidak seharusnya langsung dijadikan dasar penghukuman ekstrem, apalagi dikaitkan dengan tuntutan uang besar.
“Pemukulan antar santri adalah kenakalan anak, bukan tindak kriminal. Tapi jika guru membully, menghina, atau menyebut anak ‘dajal’, itu yang sebenarnya kriminal dan melanggar hukum,” tegasnya.
🏛️ Langkah Lanjut: Jalur Hukum Jika Tak Ditanggapi
Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi memberi batas waktu 1×24 jam kepada pihak sekolah dan yayasan untuk memberikan tanggapan resmi.
Apabila tidak ada respons, pihaknya akan melapor ke Polresta Banyuwangi dan Dinas Pendidikan atas dugaan pelanggaran hukum, baik pemerasan (Pasal 368 KUHP) maupun kekerasan terhadap anak (Pasal 76C jo. 80 UU Perlindungan Anak).
“Kami bukan mencari sensasi, kami mencari keadilan bagi santri yang haknya dirampas dan martabatnya diinjak. Pendidikan harus mendidik, bukan menindas,” pungkas Sugiarto.
📌 Catatan Redaksi:
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi peserta didik di pesantren dan sekolah berbasis yayasan.
Media akan terus memantau tindak lanjut pihak SMP Bustanul Makmur, Yayasan Bustanul Makmur 2, Dinas Pendidikan, Kemenag, dan Polresta Banyuwangi terkait somasi dan dugaan pelanggaran hukum ini.
(Red)
















