Banyuwangi, 31 Oktober 2025 —
Ketua Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi, Sugiarto, kembali mendatangi Yayasan Bustanul Makmur II pada Rabu, 30 Oktober 2025. Kedatangannya bukan tanpa alasan. Setelah beberapa tahun lalu sempat menyoroti dugaan kekerasan fisik dan pelecehan seksual terhadap santri laki-laki, kali ini Sugiarto datang membawa suara lantang atas dugaan penganiayaan antar-santri, perundungan oknum guru, dan adanya indikasi pemerasan terhadap wali santri.
Kasus Lama Belum Tuntas, Kasus Baru Muncul Lagi
Menurut Sugiarto, kasus terbaru ini melibatkan lima santri kelas 8 yang dituduh melakukan pemukulan terhadap empat santri junior. Ironisnya, kejadian yang sudah berlangsung lebih dari sebulan baru terungkap setelah korban mengalami luka dan tekanan mental.
Namun, alih-alih dibina dengan pendekatan pendidikan, para santri terduga pelaku justru disebut dibuli secara verbal oleh oknum guru, bahkan dengan ucapan tidak pantas dan bernada penghinaan.
“Kamu itu anak Dajjal, orang tua kamu dulu kalau bikin kamu apa nggak wudhu dulu?”
— Ujaran yang diduga diucapkan oleh oknum guru kepada santri di depan kelas, seperti disampaikan oleh Sugiarto.
Sugiarto menilai, ucapan seperti itu bukan hanya bentuk pelanggaran etika pendidikan, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai kekerasan verbal dan pelecehan spiritual.
Mediasi Janggal: Antara Pemerasan dan Tekanan Psikologis
Lebih mengejutkan lagi, dalam forum mediasi pada 29 Oktober 2025, para santri yang dituduh melakukan kekerasan dipaksa memilih dua opsi sanksi yang tidak wajar: membayar ganti rugi sebesar Rp400 juta atau keluar dari sekolah.
Sugiarto menilai, keputusan tersebut berpotensi mengandung unsur pemerasan dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Angka Rp400 juta itu tidak masuk akal. Jika benar ada tekanan seperti itu, ini bisa masuk dalam kategori pemerasan lembaga terhadap wali santri, yang harus ditelusuri oleh aparat hukum,” tegas Sugiarto.
Ia juga mempertanyakan keabsahan forum mediasi, karena pihak Kementerian Agama tidak diundang, sementara anggota kepolisian yang hadir bukan berasal dari Polsek Pemangku Wilayah maupun dari Unit Reknata Polresta Banyuwangi.
“Ini janggal dan sangat mencurigakan. Kami minta forum mediasi diulang dengan menghadirkan unsur resmi dari Kemenag dan kepolisian yang berwenang,” tegasnya.
Pertanggungjawaban Yayasan Dipertanyakan
Sugiarto menegaskan, Yayasan Bustanul Makmur II tidak bisa lepas tangan. Ia menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di lingkungan pondok pesantren, terutama terhadap santri yang tinggal di asrama.
“Kalau terjadi penganiayaan antar-santri, itu berarti sistem pendidikan dan pengawasan di pondok pesantren gagal. Jangan malah anak-anak yang dikorbankan dengan cara dikeluarkan,” ujarnya.
Sugiarto juga menyinggung adanya dugaan oknum guru yang melakukan perundungan dua hari berturut-turut di dua kelas berbeda kepada santri terduga pelaku, menjelang hari mediasi.
“Ini tidak adil. Oknum guru melakukan kekerasan verbal yang nyata, tapi tidak ada sanksi apapun dari kepala sekolah atau pihak yayasan,” kata Sugiarto.
Langkah Hukum dan Kecaman Terbuka
Komunitas Sadar Hukum Banyuwangi berkomitmen akan mendampingi para santri yang menjadi korban perundungan dan pemerasan, termasuk melaporkan dugaan pelanggaran etik dan pidana ke Polresta Banyuwangi maupun Polda Jawa Timur.
“Jika santri-santri itu benar dikeluarkan atau dipaksa pindah sekolah, kami siap menempuh jalur hukum. Kami tidak akan membiarkan praktik intimidasi dan pemerasan berlindung di balik lembaga pendidikan,” tegas Sugiarto.
Ia menambahkan, kasus ini tidak boleh dilihat sekadar sebagai “kenakalan anak”, tetapi sebagai indikasi lemahnya sistem pendidikan dan kepemimpinan di lingkungan pesantren yang harus segera dievaluasi.
Sanksi Hukum Jika Terbukti Ada Pemerasan
Jika benar terbukti adanya pemerasan atau ancaman dengan tujuan memperoleh uang (seperti Rp400 juta), maka sesuai dengan Pasal 368 KUHP, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Selain itu, tindakan perundungan verbal oleh oknum guru juga dapat dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah, serta Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana hingga 3 tahun 6 bulan penjara.
(Red)
















